warta lentera great work
spot_img

Direspons Beragam, PP No 24/2025 Jangan Jadi Alat Transaksi Jual Beli Status JC

Harus memiliki dasar hukum yang jelas dan JC bukan pelaku utama.

WARTALENTERA-Direspons beragam, PP (Peraturan Pemerintah) No 24 tahun 2025, akademisi harap PP jangan jadi alat transaksi politik. Aturan yang memberikan peluang kepada saksi pelaku untuk menjadi JC (Justice Collaborator) dan mendapatkan peluang bebas bersyarat.

Merespons hal itu, Kejagung (Kejaksaan Agung) menilai, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan Bagi Saksi Pelaku akan menjadi pemacu bagi para JC untuk tidak ragu menguak pidana yang terjadi. “Sehingga, perpres ini saya kira sangat tepat bahwa terkait dengan program pemerintah dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, maka ini akan menjadi alat pemacu bagi siapa saja, katakanlah orang-orang yang juga terlibat di dalamnya,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, dalam keterangannya, dikutip Sabtu (28/6/2025).

Harli menegaskan, pihak yang dapat menjadi JC bukan mereka yang diduga merupakan pelaku utama dalam berkas perkara. “Diharapkan bahwa orang-orang yang mengetahui tentang adanya satu tindak pidana maka tidak ada lagi keengganan untuk membukanya secara terang karena ada garansi, ada jaminan, ada pembedaan terhadap penerapan hukuman yang bisa diberikan kepada mereka,” ajaknya. Wakil Ketua LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) Susilaningtias menyebut, pihaknya ikut andil dalam proses penyusunan draft PP tersebut.

“PP ini perjalanannya panjang, LPSK juga terlibat dalam diskusi-diskusinya, penyusunan draftnya gitu ya, bersama dengan Kementerian Hukum dan HAM dan aparat penegak hukum lain dengan kementerian/lembaga lainnya,” jelas Susi. Dia pun bercerita, PP tersebut awalnya berupa Perpres.

“Kalau saya bisa bercerita, awalnya kita mau mendorong membuat Peraturan Presiden gitu ya, tapi terus kemudian (jadinya) PP, ini makan waktu hampir lebih dari 4 tahun ya mungkin 5 tahun gitu ya,” jelasnya, dikutip Sabtu (28/6/2025).

Menurut Susi, esensi dari PP ini adalah untuk menguatkan dan memberikan kepastian hukum kepada justice collaborator mengenai pemenuhan haknya. Selain itu, dia menilai PP tersebut menjabarkan ketentuan di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

“Utamanya berkaitan dengan Pasal 10a berkaitan dengan saksi pelaku atau justice collaborator ini, jadi memang kami menyambut baik diskusi yang sudah 5 tahun ini dan kemudian menghasilkan PP,” ucap Susi. Harapannya, bisa lebih implementatif, lebih operasional, dan kemudian emang banyak peraturan lain selain UU Perlindungan Saksi dan Korban, kaya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) 4 Tahun 2011, kemudian yang sebelumnya juga ada peraturan yang sama yang mengatur soal perlindungan dan pemberian hak kepada justice collaborator.

Di samping itu, Susi berharap PP soal justice collaborator bisa bebas bersyarat, bisa lebih operasional dan memberikan kepastian hukum bagi saksi pelaku untuk mendapatkan hak-haknya.

Sementara itu, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan dalam penanganan perkara di KPK, pelaku tindak pidana dapat mengajukan diri sebagai justice collaborator. Namun, permohonan tersebut harus memenuhi syarat substantif dan administratif.

“Di antaranya, pelaku harus bersedia mengembalikan aset hasil tindak pidana,” ujar Budi, Sabtu (28/6/2025). Lebih lanjut, Budi menjelaskan bahwa permohonan sebagai JC dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa, atau kuasa hukumnya kepada penyidik atau penuntut yang menangani perkara.

Dalam syarat substantifnya, JC harus bersedia membantu proses penegakan hukum, termasuk memberikan keterangan penting yang dapat mengungkap pelaku lain atau membongkar kejahatan yang lebih besar. “Justice collaborator berperan penting dalam membongkar jaringan tindak pidana yang kompleks. Oleh karena itu, kerja sama yang diberikan harus nyata dan signifikan,” tambahnya.

Sementara itu, pengajar hukum pidana pada Universitas Trisakti Azmi Syahputra mengatakan, penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi saksi pelaku alias justice collaborator (JC) haruslah selektif. Jangan sampai, PP tersebut dijadikan alat transaksi jual beli status JC.

Menurut Azmi, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 4 PP Nomor 24 Tahun 2025 telah memberikan dasar hukum yang jelas terkait efektifitas kualitas penegakan hukum maupun insentif kepada JC. Yakni, mereka yang bukan pelaku utama agar mau membantu aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana, termasuk korupsi dan kejahatan terorganisasi.

Ia berpendapat, PP tersebut berpotensi menjadi instrumen efektif dalam kasus- kasus tertentu, misalnya megakorupsi dengan kerugian negara besar dan terorganisir. Tujuannya, untuk mengungkap aktor dan jaringan kejahatan yang lebih luas.

“Namun, penerapannya harus pula selektif, ketat, dan berhati-hati mengacu pada standar hukum yang jelas untuk menghindari penyalahgunaan, terutama dalam kasus yang sensitif dan berpotensi politis,” kata Asmi, Sabtu (28/6/2025).

Salah satu contoh yang diberikan Azmi terkait pengakuan dalam kasus dugaan korupsi perintangan penyidikan sejumlah perkara yang ditangani Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan Agung dengan terdakwa Marcella Santoso. Lewat tayangan video yang diputar pihak Kejagung, menyatakan permintaan maaf karena telah menyebarkan narasi negatif soal Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sampai Presiden Prabowo Subianto.

Ia juga menyinggung konten terkait petisi RUU TNI dan Indonesia Gelap. Seperti diberitakan sebelumnya, PP Nomor 24 Tahun 2025 sendiri merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana.

Regulasi ini memberikan bentuk penghargaan berupa keringanan hukuman atau pembebasan bersyarat bagi saksi pelaku yang kooperatif dan membantu pengungkapan kasus besar. (sic)

 

 

RELATED
- Advertisment -
warta lentera beautiful day

PROFILE

Most Popular