WARTELENTERA – Kejaksaan Agung (Kejagung) disebut telah melakukan penjemputan paksa terhadap Ibrahim Arief, seorang konsultan yang terlibat sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek periode 2019–2022.
Informasi tersebut disampaikan oleh kuasa hukum Ibrahim Arief, Indra Haposan Sihombing, saat berada di Gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Jakarta Selatan, Selasa (15/7/2025).
“Iya, hari ini benar dijemput,” kata Indra singkat seraya masuk ke dalam gedung.
Ibrahim Arief diketahui merupakan konsultan perorangan dalam proyek rancangan perbaikan infrastruktur teknologi manajemen sumber daya sekolah pada Kemendikbudristek.
Berdasarkan pantauan di lokasi, Ibrahim terlihat turun dari mobil operasional Kejagung sekitar pukul 14.35 WIB di Gedung Jampidsus. Ia tampak mengenakan pakaian serba hitam dan dikawal oleh tiga orang penyidik. Beberapa menit kemudian, pengacaranya terlihat menyusul dengan langkah tergesa.
Ibrahim telah diperiksa dua kali oleh penyidik Jampidsus dalam perkara dugaan korupsi pengadaan Chromebook ini. Kasus tersebut kini menjadi salah satu fokus penyidikan Kejagung.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa penyidik tengah mendalami dugaan pemufakatan jahat oleh sejumlah pihak yang mengarahkan tim teknis untuk menyusun kajian teknis yang menyarankan penggunaan Chromebook. “Supaya diarahkan pada penggunaan laptop yang berbasis pada sistem operasi Chrome,” ujar Harli.
Namun, penggunaan Chromebook itu dinilai tidak relevan dengan kebutuhan sebenarnya. Harli menegaskan bahwa pada 2019, Pustekom Kemendikbudristek telah melakukan uji coba terhadap 1.000 unit Chromebook, namun hasilnya dinilai tidak efektif.
Rekomendasi awal dari tim teknis justru mengarah pada penggunaan sistem operasi Windows, namun kemudian digantikan oleh kajian baru yang justru menyarankan penggunaan sistem operasi Chrome.
Dari sisi anggaran, Harli membeberkan bahwa proyek pengadaan tersebut menelan biaya mencapai Rp9,982 triliun. Rinciannya, Rp3,582 triliun berasal dari Dana Satuan Pendidikan (DSP), sementara sekitar Rp6,399 triliun berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
Kasus ini kini terus dikembangkan penyidik guna mengungkap aktor-aktor yang terlibat, serta mengevaluasi proses pengadaan yang diduga kuat menyimpang dari kebutuhan dan hasil kajian awal. (kom)


