warta lentera great work
spot_img

Hingga September 2025, Jumlah PHK Tembus 45.426 Orang

Penyebab utama adalah perusahaan merugi atau tutup akibat pasar menurun.

WARTALENTERA – Jumlah PHK alias pemutusan hubungan kerja dalam periode Januari-September 2025 mencapai 45.426 orang. Tenaga kerja yang kena PHK paling banyak adalah Jawa Barat.

Berdasarkan catatan Pusat Data dan Teknologi Informasi Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker), pada September 2025 sudah ada 1.093 pekerja yang terkena PHK.

“Pada bulan September 2025 terdapat 1.093 orang tenaga kerja yang ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu sekitar 20,95 persen dari total tenaga kerja ter-PHK yang dilaporkan,” tulis situs Satudata Kemnaker yang dikutip Warta Lentera, Kamis (30/10/2025).

Jumlah PHK pada September lebih tinggi dibandingkan Agustus sebanyak 830 orang, namun lebih rendah dibanding Juli dan Juni yang masing-masing sebesar 1.118 dan 1.609. Sementara itu, jumlah PHK tertinggi terjadi pada Februari 2025 yang mencapai 17.796 orang.

Berikut rincian tenaga kerja yang ter-PHK sepanjang Januari-September 2025:

  • Januari: 9.497 orang
  • Februari: 17.796 orang
  • Maret: 4.987 orang
  • April: 3.794 orang
  • Mei: 4.702 orang
  • Juni: 1.609 orang
  • Juli: 1.118 orang
  • Agustus: 830 orang
  • September: 1.093 orang

Meski mengalami tren peningkatan, jumlah PHK periode Januari-September 2025 lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu. Perlu diketahui, PHK periode Januari-September 2024 tercatat sebanyak 54.400.

“Pada periode Januari-September 2024 terdapat 54.400 orang tenaga kerja yang ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Tengah yaitu sekitar 20,64 persen dari jumlah tenaga kerja ter-PHK,” tulis Satudata Kemnaker.

Faktor penyebab

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli pernah menjelaskan tujuh penyebab utama meningkatnya PHK pada 2025.

“Pertama, perusahaan merugi atau tutup karena pasar menurun, baik di dalam maupun luar negeri. Kedua, relokasi untuk mencari upah lebih murah,” kata Yassierli dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Senin (5/5/2025).

Ia menyebut, ada juga PHK karena perselisihan hubungan industrial dan tindakan balasan atas aksi mogok kerja. Dua alasan ini masuk kategori hubungan industrial.

“Kelima, efisiensi agar perusahaan bisa bertahan. Keenam, transformasi bisnis. Ketujuh, kondisi pailit yang berkaitan dengan kewajiban ke kreditur,” ujarnya.

Yassierli menambahkan, ada 25 penyebab PHK secara keseluruhan. Namun, tujuh penyebab itu paling dominan tahun ini. Menurutnya, setiap kasus perlu ditangani secara spesifik.

Sementara, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan kondisi perekonomian yang tidak baik bisa berdampak terhadap munculnya PHK. Dirinya mencatat, ada lima penyebab PHK.

Pertama, regulasi atau kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Misalnya, membuka keran impor tanpa mempertimbangkan perlindungan terhadap produk lokal. Akibatnya, barang impor mengalahkan produk dalam negeri seperti tekstil, alas kaki, furniture dan lain sebagainya.

“Sehingga pekerja/buruh di sektor-sektor tersebut terpaksa mengalami PHK. Pemerintah seharusnya meninjau ulang Permendag No. 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Permendag No. 36 Tahun 2023 Tentang Kebijakan Dan Pengaturan Impor dengan membatasi arus impor masuk ke dalam negeri sehingga produk dalam negeri bisa laku di pasar domestik,” tuturnya beberapa waktu lalu.

Penyebab kedua, kebijakan negara lain seperti kenaikan tarif impor AS, memperlemah daya saing produk ekspor Indonesia. Sehingga permintaan pasar terhadap barang produksi Indonesia semakin turun, sehingga perusahaan yang memproduksi berpotensi melakukan PHK.

Ketiga, PHK berpotensi terjadi karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang tidak patuh aturan. Tak sedikit perusahaan yang mengabaikan norma ketenagakerjaan seperti upah minimum, jaminan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dan lainnya.

Persoalan ini memicu protes dari kalangan pekerja/buruh. Alih-alih melakukan perbaikan dengan menjalankan hukum ketenagakerjaan, tapi ada perusahaan yang malah melakukan PHK terhadap pekerja/buruh tersebut.

Keempat, adanya berbagai oknum yang memeras perusahaan sehingga membuat ongkos operasional perusahaan membengkak. Pungutan liar atau biaya ilegal yang dikeluarkan perusahaan untuk para oknum itu membuat beban produksi semakin berat.

Ditambah tingginya suku bunga bank yang ujungnya membuat harga barang produksi menjadi tinggi. Akibatnya, barang produksi itu kalah bersaing dan membuat perusahaan mempertimbangkan PHK untuk mengurangi beban tersebut.

Kelima, penggunaan teknologi untuk produksi. Timboel mencatat penggunaan teknologi berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja. Penerapan teknologi itu tujuannya antara lain untuk meningkatkan daya saing produk, khususnya kualitas dan harga dengan harapan bisa bersaing dengan produk luar negeri. (inx)

RELATED
- Advertisment -
warta lentera beautiful day

PROFILE

Most Popular